Self Reminder

#Journal83 - Aku Sakit, Kau Tak Menjengukku


Rabu, 26 Juni 2019

Siapakah kita jika suatu saat sakit dan tak berdaya?

Sakit adalah perkara yang sudah pasti dihindari oleh banyak orang. Beberapa waktu lalu seorang sahabat jatuh sakit. Namanya Ruben Bentiyan, biasa dipanggil Mang Randu. Dan tadi pagi Mang Randu baru saja diizinkan untuk pulang. Pulang sebagai pasien yang harus tetap beristirahat dan dirawat di rumah.

Kita semua bisa mengalami apa yang dialami oleh Mang Randu dengan berbagai variasi: sakit yang berbeda atau hal lain, misalnya trauma, depresi, dipecat, masuk tahanan entah karena apa, dan lainnya, dan lainnya. Kalau kita mengalami itu, kehilangan seluruh kapasitas survival kita tersebut, pertanyaanya: daya dukung apa yang kita miliki? Dan seberapa panjang? Merenungkan hal ini mirip dengan ketika kita belajar ilmu sosial tentang masyarakat atau komunitas yang mengalami “syok” dan “krisis”.

Lumrahnya, yang pertama-tama akan mendukung kita adalah keluarga. Tapi, berapa lama dan seberapa kuat keluarga mampu menyangga kita? Istri atau suami kita, bapak atau ibu kita, juga anak kita, mereka semua butuh meneruskan hidup. Mereka bukan hanya butuh membiayai kita saat sakit, tapi juga membiayai diri mereka sendiri. Tetangga kita juga demikian.

Padahal sakit di Indonesia bukan perkara sederhana (termasuk apabila kita kehilangan pekerjaan, mengalami depresi, atau trauma). Tentu saja saya bersyukur karena pelayanan pemerintah kepada orang sakit saat ini sudah lebih baik. Tapi, kita tidak sedang membicarakan hal itu saja.

Ada satu titian di hidup kita, yang hanya dengan kedipan, kita yang semula adalah tulang punggung kehidupan tiba-tiba berubah menjadi “beban”. Sakit, kena gempa, kecelakaan kendaraan, bahkan terpeleset kulit pisang pun dalam kondisi tertentu bisa langsung membuat kita lumpuh dan tak berdaya.

Mang Randu salah satu yang beruntung dan terberkati. Dia dirawat selama kurang lebih 11 hari. Saat ini masih dirawat di rumah. Dan saya menyaksikan sendiri uluran tangan banyak pihak kepadanya. Termasuk yang luar biasa adalah mereka yang mendampingi proses itu. Terhitung ada 20 sampai 30 rekan yang datang silih berganti, mereka meluangkan waktunya sekedar menjenguk bahkan ada juga yang sampai menginap di rumah sakit. Untuk memudahkan, saya akan menyebutnya daya dukung sosial.

Pertanyaannya sederhana, dengan tidak bermaksud mensyukuri sakitnya, kenapa Mang Randu bisa cukup beruntung seperti itu? Apa yang dia lakukan dalam hidup sehingga daya dukung sosialnya sangat lentur dan liat?

Pertanyaan selanjutnya, orang-orang seperti apa yang mendapat daya dukung sosial selentur dan seliat Mang Randu? Mereka terkoneksi dengan cara apa? Apa cara pikir mereka atas hubungan antarmanusia?

Dan yang terakhir, apakah jika kita mengalami seperti Mang Randu (dengan segala variannya), kita cukup beruntung seperti itu? Kalau tidak, apa yang perlu kita persiapkan? Apakah bisa dipersiapkan?

Saya tidak berhak menilai apakah Mang Randu orang yang baik kepada banyak orang. Bagi saya pribadi, Mang Randu adalah orang yang baik. Dan saya menyaksikan sendiri betapa banyak orang yang mengulurkan tangan untuknya.

Bagaimana seandainya kita yang mengalami hal itu? Cukupkah daya dukung sosial kita? Alfatihah dan mari berdoa untuk diri kita semua supaya senantiasa sehat, rukun, dan saling memuliakan satu sama lain …

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Biodata With Flash