Saung Pinggiran Rel Kereta - Bogor
Kamis, 6 Juli 2017
Ferry menulis disini.
Beberapa
waktu lalu, aku melakukan kunjungan awal bulan menuju sowbatqu M. Thoriq Al-Fatir. Sekedar ngobrol
santai & jalan-jalan di sepanjang rel kereta. Yha namanya juga awal bulan
yha, jalan-jalan yang terjangkau saja. Kalo akhir bulan tuh dapet gaji, gak
mungkin blusukan sawah ampe ke rel kereta. Yha ku sering mengunjungi beberapa
sowbat sejawat guna silaturahmi atau sekedar ngopi. Tapi kali ini kubahas
khusus.
Jadi.
Thoriq adalah rekan sejak SMK kelas X. Sejak awal kenal, ia adalah pribadi yang
menyenangkan. Selalu senyum setiap saat. Mudah bergaul dengan orang lain.
Ramah. Bahasa Inggrisnya juga bagus. Dan yang lebih buatku iri, Karya-karyanya
selalu bagus. Entah itu desain, tipografi, bahkan WPAP, semua selalu enak
dipandang. Sungguh kuingin hidup sepertinya. Tapi itu kan hal-hal baiknya doang
menurut sudut pandangku. Semua orang pasti punya masalah masing-masing. Ku tak
perlu tau.
Badeway. Ketika lulus, tak semuanya berjalan mulus. Bahkan
untuk kawan seperti Thoriq sekalipun. Dan sialnya aku pun bernasib demikian.
Menjanjikan cepat kerja, tak semudah mewujudkannya. “Sekolah
terbaik & Para lulusan sukses!”
ah itu kan buat beberapa orang saja. Tak semua bernasib mujur seperti itu.
Eniwey.
Masih tentang Oi (nama panggilannya),
ia pun kuliah karena tak kunjung dapat kerja. Sungguh kasian perusahaan
tersebut, menolak seorang pekerja handal seperti Oi. Etapi belom genap setahun
udah berenti aja kuliahnya. “Gua belom bayaran
ini” dia bilang. Sungguh bedebah emang.
Setahun
terakhir. Aku, Oi serta kawan-kawan lainnya membentuk sebuah komunitas gitu.
Dan Oi dipercaya sebagai ketuanya. Guna sekedar ngumpul-ngumpul buat yang belom
dapet kerja, yang kuliah, dan yang lain. Seiring berjalannya waktu, berkembang
jadi komunitas kecil, dan akhirnya merangkak menjadi setengah Media setengah Production House gitu. Sungguh bingung.
Makin
dewasa, makin ku menyadari bahwa “Life Sucks”. Dan ternyata setelah ku diskusikan bersama Oi, ia
pun mengalami hal yang serupa. Merasa sepemikiran, kita pun ngobrol sana sini
tentang betapa menyebalkannya hidup ini.
“O
ma vrens!! Sesungguhnya kita adalah pemuda berbakat nan potensial! Tapi sayang,
ternyata Tuhan telah menunjukkan sisi gelap dunia kepada kita lebih awal!
Sehingga kini kita menjadi jiwa-jiwa struggle nan penasaran yang dikit demi
sedikit sadar bahwa dunia menyebalkan!!”
Kira-kira
seperti itu contoh percakapan kita. Terdengar sesat & buntu memang, karena
waktu itu kita tidak melihat gugel mep jadinya nyasar. Akhir kata. Hidup itu
menyebalkan. Bahkan jauh sebelum kakek-nenek kita lahir, hidup sudah
menyebalkan. Tak semua merasakan.
Tapi aku salah satunya, dan kuingin engkau tau hal itu.
Komentar
Posting Komentar