Rabu, 23 Oktober 2019
Berdamai
dengan diri sendiri itu perlu.
Aku
selalu mencoba mendorong diriku untuk masuk ke dalam lingkungan dimana pun aku
berada. Berbaur dengan semua yang aku temui. Ya. Aku memaksa diriku menuju hal
yang tidak nyaman. Istilah “paksa”
memang agak kasar. Tapi sesekali kita pasti pernah menjalani hal yang tidak
nyaman. Entah diri sendiri, atau keadaan yang memaksa.
Ngomong-ngomong
soal paksa, bukankah banyak hal yang terjadi di sekitar kita tercipta karena
hal yang dipaksa? Dengan atau tanpa kita sadari, “dipaksa” dan “memaksa”
adalah tindakan yang sudah cukup lumrah saat ini. Sebuah keterpaksaan yang
membuat kita membiasakan diri, dan lama kelamaan akan dianggap lumrah bahkan
wajar. Bukankah memang banyak hal yang awalnya adalah sebuah keterpaksaan?
Aku
mengambil contoh diriku. Waktu SD aku adalah anak yang biasa aja. Pendiam
bahkan terkesan culun (sampai sekarang).
Ketika lulus SD, aku memasuki lingkungan sekolah yang sangat berbeda ketika di
bangku SD. Bahasa Sunda kasar, dipalak senior, merokok, nangkel di angkutan umum bahkan sampai tawuran antar pelajar adalah
hal-hal yang sangat baru bagiku. Dan yang sampai sekarang sangat membekas dalam
ingatan, adalah ketika masih MOPDB (dulu
istilahnya MOS) aku sudah dihajar (kalau
berantem artinya ada perlawanan, sedangkan waktu itu aku diam saja) oleh
siswa dari sekolah lain. Tak perlu tanya mengapa. Tidak pernah terpikir olehku
akan menjalani hal-hal tidak menyenangkan tersebut. Tentu saja aku sangat ingin
pindah sekolah. Tapi yang kulakukan kala itu justru memaksa diriku untuk
terbiasa dalam lingkungan seperti itu. Aku penasaran. Sangat tidak nyaman, tapi
aku ingin tahu lebih jauh tentang lingkungan baru ini. Dan aku bisa bertahan
sampai lulus. Semua berkat pembiasaan dengan sedikit paksaan.
Lanjut
lagi, aku masuk ke SMK. Dan lagi, lingkunganku berubah drastis. Bangun lebih
pagi, pulang lebih sore (bahkan sering
malam), naik turun tangga tiap hari, tugas yang menumpuk, dan segala
rutinitas lainnya yang tidak pernah aku lakukan. Apa yang aku lakukan? Tentu
saja memaksakan diri mengikuti jadwal padat tersebut. Sudahlah masa SMK tidak
perlu ditulis panjang lebar. Nanti jatuhnya ngeluh, lagian udah lulus juga.
Intinya,
sadar atau tidak banyak hal yang diawali dengan keterpaksaan. Yang kemudian
menciptakan sebuah rutinitas yang membuat kita terbiasa. Dan akhirnya kebiasaan
itu menjadi hal yang dianggap wajar karena sangat sering dan mungkin banyak
juga yang melakukan hal tersebut.
Bukankah
begitu? Atau hanya diriku saja yang merasa terpaksa? Apakah kalian tidak merasa
demikian? Cobalah cari waktu senggang, menyendiri lah, kemudian sesekali
berpikir secara skeptis. Kadang kita perlu berdamai dengan diri sendiri.
Komentar
Posting Komentar